Pemimpin Pasifik di UNGA80 Soroti Kepeloporan Kawasan dalam Kesetaraan Gender Sejak 1994.
Pemimpin Pasifik di UNGA80 Soroti Kepeloporan Kawasan dalam Kesetaraan Gender Sejak 1994.
Pendahuluan: Sebuah Suara dari Lautan Teduh.
Di tengah gemanya Sidang
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80 (UNGA80) di New York, sebuah suara
kolektif yang tegas dan visioner muncul dari kawasan yang sering kali dipinggirkan
dalam narasi global: Pasifik. Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi untuk memperingati
Tiga Puluh Tahun Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan dan adopsi Platform
Aksi Beijing yang legendaris, Perdana Menteri Kepulauan Solomon sekaligus Ketua
Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Yang Terhormat Jeremiah Manele, tidak sekadar
menyampaikan pidato rutin. Pernyataannya, yang didukung oleh para pemimpin
Pasifik lainnya seperti Presiden Marshall Hilda Heine, Perdana Menteri Tuvalu
Feleti Teo, dan Perdana Menteri Fiji Sitiveni Rabuka, adalah sebuah pengingat
yang powerful dan berwibawa tentang sejarah kepeloporan kawasan itu sendiri.
Pesan intinya sederhana
namun profound: sementara dunia berkumpul untuk merenungkan 30 tahun sejak
Beijing 1995, Pasifik telah merayakan "warisan kepemimpinannya"
selama lebih dari tiga dekade. Keberanian mereka terletak pada fakta bahwa
setahun sebelum Beijing, pada tahun 1994, kawasan ini telah meluncurkan
Platform Aksi Pasifik untuk Perempuan yang secara visioner menempatkan
kesetaraan gender sebagai inti dari agenda pembangunan regional. Pernyataan di
UNGA80 ini bukan hanya tentang mematuhi kerangka kerja global, tetapi tentang
menegaskan kembali sebuah narasi yang telah lama dibangun oleh Pasifik
sendiri sebuah narasi yang menempatkan mereka bukan sebagai pengikut, tetapi
sebagai pelopor yang kontribusinya patut diakui dan dipelajari.
Artikel ini akan
menganalisis signifikansi historis dan kontemporer dari pernyataan kolektif
Pasifik ini. Kita akan menelusuri akar dari Platform Aksi Pasifik 1994,
memahami konteks sosio-kultural yang melahirkannya, menganalisis capaian dan
tantangan yang dihadapi dalam tiga puluh tahun perjalanannya, serta menilai
implikasi dari penegasan kembali komitmen ini di panggung global saat kawasan
menghadapi ujian eksistensial seperti perubahan iklim.
1: Konteks Historis - Lahirnya Platform Aksi Pasifik 1994, Sebuah Langkah Visioner.
Untuk memahami betapa
revolusionernya Platform Aksi Pasifik 1994, seseorang harus terlebih dahulu
memahami konteks global dan regional pada era tersebut. Awal 1990-an adalah
periode pascaperang dingin yang penuh dengan optimisme tentang tatanan dunia
baru. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan serangkaian konferensi dunia
besar yang membentuk agenda pembangunan global, termasuk KTT Bumi di Rio de
Janeiro (1992) dan Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina (1993).
Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan di Beijing pada tahun 1995
diproyeksikan menjadi puncak dari perjuangan ini.
Namun, negara-negara Kepulauan
Pasifik, dengan keunikan tantangan mereka sebagai masyarakat kepulauan kecil
yang tersebar, sering kali merasa bahwa kerangka global tidak sepenuhnya
menangkap realitas mereka. Jarak geografis, kerentanan terhadap bencana alam,
ekonomi yang kecil, dan sistem kepemimpinan tradisional yang kuat menciptakan
dinamika yang unik. Kebutuhan akan sebuah platform yang secara khusus dirancang
untuk dan oleh orang Pasifik menjadi semakin mendesak.
Pada tahun 1994, di
bawah naungan Pacific Community (SPC), para pemimpin perempuan, aktivis, dan
pemerintah kawasan berkumpul dan melahirkan Platform Aksi Pasifik untuk
Perempuan. Dokumen ini bukanlah reaksi terhadap Beijing, melainkan sebuah
inisiatif proaktif. Beberapa aspek kunci yang membuatnya visioner:
1. Kontekstualisasi
Regional: Alih-alih hanya mengadopsi bahasa global, Platform Pasifik secara
eksplisit mengatasi isu-isu spesifik kawasan. Ini berbicara tentang dampak uji
coba nuklir, akses perempuan ke sumber daya kelautan dan pertanian, peran
perempuan dalam mitigasi bencana, dan tantangan kesehatan di komunitas
terpencil.
2. Pengakuan terhadap
Kepemimpinan Tradisional dan Modern: Platform tersebut dengan cerdik
menjembatani kesenjangan antara hak-hak gender universal dan struktur budaya
Pasifik yang menghormati kepemimpinan adat. Ini tidak mencari untuk
menggulingkan tradisi, tetapi untuk bekerja dalam dan melaluinya untuk
memajukan partisipasi perempuan.
3. Pendekatan Holistik:
Isu perempuan tidak dilihat secara terisolasi. Platform tersebut menghubungkan
kesetaraan gender dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pelestarian
lingkungan, perdamaian, dan keamanan manusia sebuah pendekatan yang sekarang
menjadi arus utama dalam wacana pembangunan global.
Dengan demikian, ketika
PM Manele menyatakan, "Setahun sebelum Beijing, kawasan ini meluncurkan
Platform Aksi Pasifik...," ia sedang menegaskan sebuah fakta sejarah yang
sering terlupakan: Pasifik telah memiliki peta jalan sendiri jauh sebelum dunia
menyepakati Beijing. Ini adalah klaim atas agensi dan visi.
2: Analisis Pernyataan PIF di UNGA80 - Makna di Balik Kata-Kata.
Pernyataan Yang
Terhormat Jeremiah Manele di UNGA80 dapat dibaca sebagai sebuah dokumen
strategis yang berfungsi pada beberapa tingkat.
Pertama, sebagai Alat
Diplomasi dan Peningkatan Posisi Tawar (Leverage). Untuk negara-negara kecil
yang sering kali suaranya tenggelam di PBB, menegaskan sejarah kepeloporan
adalah sebuah taktik diplomatik yang canggih. Ini menggeser posisi Pasifik dari
"penerima bantuan" atau "pihak yang membutuhkan" menjadi
"pemegang pengetahuan" dan "pelopor." Dengan menyoroti
kontribusi mereka sendiri, mereka membangun kredibilitas moral yang kuat untuk mendesak
negara-negara maju agar memenuhi komitmen mereka sendiri, khususnya dalam hal
pendanaan untuk program gender dan aksi iklim, yang sangat terkait bagi
Pasifik.
Kedua, sebagai Pengingat
untuk Komunitas Global. Pesan tersebut secara halus mengingatkan dunia bahwa
perjuangan untuk kesetaraan gender memiliki banyak wajah dan banyak lokus.
Sementara Beijing adalah momen penting secara global, inisiatif regional
seperti Platform Pasifik sama sah dan visionernya. Ini adalah seruan untuk
pengakuan yang lebih luas terhadap berbagai jalur menuju kesetaraan, yang
menghormati keragaman budaya dan konteks.
Ketiga, sebagai
Pendorong untuk Solidaritas dan Aksi Regional yang Diperbarui. Dengan
menyampaikan pernyataan atas nama PIF, dan dengan dukungan eksplisit dari para
pemimpin Pasifik lainnya, Manele sedang memperkuat solidaritas regional. Ini
adalah seruan untuk bertindak di dalam kawasan itu sendiri. Tiga puluh tahun
setelah platform diluncurkan, tantangan baru seperti perubahan iklim,
urbanisasi, dan kerentanan ekonomi digital telah muncul. Menegaskan kembali
warisan 1994 adalah cara untuk mendorong negara-negara anggota PIF untuk
memperkuat komitmen nasional mereka dan mengisi ulang agenda kesetaraan gender
dengan prioritas kontemporer.
Keempat, Penghormatan
kepada Kepemimpinan Perempuan Pasifik. Dengan menyebutkan nama-nama pemimpin
seperti Hilda Heine (Presiden perempuan pertama Marshall Islands), pernyataan
tersebut juga mengakui peran penting yang telah dimainkan oleh perempuan
Pasifik sendiri dalam menggerakkan agenda ini, baik di tingkat akar rumput
maupun di puncak kekuasaan. Ini adalah pengakuan bahwa "warisan
kepemimpinan" yang dibanggakan itu dibangun di atas pundak para aktivis,
politisi, dan pemimpin komunitas perempuan.
3: Tiga Puluh Tahun Perjalanan - Capaian dan Tantangan Berkelanjutan.
Warisan Platform Aksi
Pasifik 1994 tentu saja harus diukur melalui lensa kemajuan yang telah dicapai,
meskipun tidak merata, di seluruh kawasan.
Capaian Signifikan:
· Kemajuan dalam
Representasi Politik: Terjadi peningkatan yang nyata, meski dari basis yang
sangat rendah. Negara-negara seperti Samoa (dengan sistem kuota), Fiji, dan
Marshall Islands telah melihat lebih banyak perempuan terpilih dalam parlemen
dan menjabat di posisi menteri. Kepemimpinan figur seperti Hilda Heine dan
mantan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern (meski bukan negara
Pasifik, namun berpengaruh besar) telah menjadi simbol inspirasional.
· Penguatan Kerangka
Hukum dan Kebijakan: Banyak negara Pasifik telah mereformasi undang-undang yang
mendiskriminasi perempuan, particularly dalam hal kekerasan dalam rumah tangga,
warisan, dan akses ke keadilan. Lembaga-lembaga nasional untuk memajukan
perempuan (seperti Department of Women di berbagai negara) telah dibentuk atau
diperkuat.
· Pemberdayaan Ekonomi:
Program-program yang berfokus pada kewirausahaan perempuan, akses ke
mikrofinansial, dan partisipasi dalam sektor-sektor seperti perikanan,
pariwisata, dan pertanian telah mendapatkan daya ungkit.
· Pendidikan dan
Kesehatan: Akses perempuan dan anak perempuan ke pendidikan dasar dan menengah
telah meningkat secara dramatis di banyak bagian Pasifik, meskipun kesenjangan
tetap ada dalam pendidikan tinggi dan bidang Sains, Teknologi, Teknik, dan
Matematika (STEM).
Tantangan yang Membatu dan Baru:
Kekerasan Berbasis
Gender (GBV): Ini tetap menjadi tantangan terberat. Tingkat kekerasan terhadap
perempuan dan anak perempuan di beberapa negara Pasifik adalah yang tertinggi
di dunia, sebuah krisis yang membutuhkan pendekatan multi-sektoral yang
berkelanjutan.
Budaya Patriarki yang
Kuat: Struktur sosial tradisional yang menghormati kepemimpinan laki-laki masih
menjadi hambatan signifikan bagi partisipasi penuh perempuan dalam pengambilan
keputusan di semua tingkat.
Dampak Perubahan Iklim
yang Tidak Proporsional: Sebagai kawasan yang paling rentan terhadap dampak
perubahan iklim, perempuan Pasifik, yang sering menjadi penanggung jawab utama
untuk ketahanan pangan dan air rumah tangga, menanggung beban yang lebih berat.
Namun, pengetahuan tradisional mereka juga menjadikan mereka agen kunci dalam
adaptasi.
Keterbatasan Data dan
Pendanaan: Kurangnya data yang terpilah menurut gender membatasi perencanaan
kebijakan yang efektif. Selain itu, pendanaan untuk organisasi-organisasi
perempuan dan program-program kesetaraan gender masih seringkali tidak memadai
dan tidak menentu.
Konektivitas dan
Migrasi: Di negara kepulauan, akses terbatas ke transportasi dan teknologi
digital dapat mengisolasi perempuan di komunitas terpencil. Migrasi dari pulau-pulau
terluar ke pusat-pusat urban juga menciptakan kerentanan baru.
Pernyataan di UNGA80,
dengan demikian, adalah pengakuan bahwa sementara "warisan
kepemimpinan" itu nyata, perjalanan itu belum selesai. Tantangan-tantangan
baru membutuhkan respons yang segar dan berani.
4: Menghubungkan Masa Lalu dan Masa Depan - Kesetaraan Gender dalam Bayangan Krisis Iklim.
Titik konvergensi yang
paling kritis untuk agenda kesetaraan gender di Pasifik saat ini adalah
perubahan iklim. Di sinilah pesan PM Manele mendapatkan resonansi eksistensial
yang mendalam. Pasifik berada di garis depan krisis iklim, menghadapi kenaikan
permukaan laut, pemutihan karang, dan cuaca yang semakin ekstrem.
Agenda kesetaraan gender
dan aksi iklim tidak dapat dipisahkan. Perempuan Pasifik adalah penjaga
pengetahuan tradisional tentang konservasi sumber daya, pertanian tahan iklim,
dan pengelolaan air. Mereka adalah tulang punggung ketahanan komunitas. Namun,
mereka juga paling menderita ketika bencana melanda. Oleh karena itu, setiap
kerangka kerja pembangunan atau iklim regional yang tidak secara eksplisit dan
berarti melibatkan perempuan dan memasukkan perspektif gender pada dasarnya
akan cacat dan tidak efektif.
Dengan menegaskan
kembali komitmen terhadap kesetaraan gender di panggung global, para pemimpin
Pasifik juga sedang membangun kasus untuk pendekatan yang inklusif terhadap
keuangan iklim, transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas. Mereka pada
dasarnya berkata: "Jika dunia ingin membantu Pasifik beradaptasi dengan
perubahan iklim, maka dunia harus berinvestasi pada perempuan Pasifik."
Ini menjadikan agenda gender bukan hanya masalah hak asasi manusia, tetapi
sebagai masalah kelangsungan hidup dan keberlanjutan yang strategis.
Kesimpulan:
Pernyataan Forum
Kepulauan Pasifik di UNGA80 dalam peringatan 30 tahun Beijing adalah lebih dari
sekadar pidato diplomatik. Itu adalah tindakan penegasan ulang sejarah. Dengan
menyoroti kepeloporan kawasan mereka sejak 1994, para pemimpin Pasifik telah
mengklaim ruang yang sah dalam narasi global tentang kesetaraan gender. Mereka
mengingatkan dunia bahwa visi dan keberanian tidak hanya berasal dari
pusat-pusat kekuatan global, tetapi juga dari kepulauan-kepulauan kecil di
Lautan Teduh.
Warisan Platform Aksi
Pasifik adalah fondasi yang kuat. Namun, seperti yang diakui oleh para pemimpin
itu sendiri, fondasi itu harus dibangun kembali untuk menghadapi tantangan abad
ke-21terutama momok perubahan iklim. Keberhasilan masa depan akan diukur oleh
kemampuan untuk mentranslasikan komitmen tingkat tinggi ini menjadi aksi nyata
yang mengatasi kekerasan berbasis gender, mempromosikan kepemimpinan perempuan,
dan memastikan bahwa perempuan dan anak perempuan Pasifik tidak hanya bertahan
dari gelombang perubahan, tetapi memimpin dalam membentuk masa depan kawasan
mereka yang lebih tangguh dan setara. Dalam hal ini, suara Pasifik di PBB bukan
hanya tentang merayakan masa lalu, tetapi tentang secara aktif membingkai masa
depan sebuah masa depan di mana kesetaraan gender tetap menjadi inti dari
agenda Pasifik, sebagaimana yang visioner mereka tetapkan tiga puluh tahun yang
lalu.

Posting Komentar untuk "Pemimpin Pasifik di UNGA80 Soroti Kepeloporan Kawasan dalam Kesetaraan Gender Sejak 1994."